IBNU MALIK PENGARANG ALFIYAH
Oleh KH. A. Khozin Nasuha 1
Ibn Malik, nama lengkapnya adalah Muhammad Jamaluddin ibn Abdillah ibn Malik al-Thay, lahir pada tahun 600 H. di Jayyan. Daerah ini sebuah kota kecil di bawah kekuasaan Andalusia (Spanyol). Pada saat itu, penduduk negeri ini sangat cinta kepada ilmu, dan mereka berpacu dalam menempuh pendidikan, bahkan berpacu pula dalam karang-mengarang buku-buku ilmiah.
Pada masa kecil, Ibn Malik menuntut ilmu di daerahnya, terutama belajar pada Syaikh Al-Syalaubini (w. 645 H). Setelah menginjak dewasa, ia berangkat ke Timur untuk menunaikan ibadah hajji,dan diteruskan menempuh ilmu di Damaskus. Di sana ia belajar ilmu dari beberapa ulama setempat, antara lain Al-Sakhawi (w643 H). Dari sana berangkat lagi ke Aleppo, dan belajar ilmu kepada Syaikh Ibn Ya’isy al-Halaby (w. 643 H). Di kawasan dua kota ini nama Ibn Malik mulai dikenal dan dikagumi oleh para ilmuan, karena cerdas dan pemikirannya jernih. Ia banyak menampilkan teori-teori nahwiyah yang menggambarkan teori-teori mazhab Andalusia, yang jarang diketahui oleh orang-orang Siria waktu itu. Teori nahwiyah semacam ini, banyak diikuti oleh muruid-muridnya, seperti imam-imam Al-Nawawi, Ibn al-Athar, Al-Mizzi, Al-Dzahabi, Al-Shairafi, dan Qadli al-Qudlat Ibn Jama’ah.
Untuk menguatkan teorinya, sarjana besar kelahiran Eropa ini, senantiasa mengambil saksi (syahid) dari teks-teks al-Qur’an. Kalau tidak didapatkan, ia menya-jikan teks al-Hadits. Kalau tidak didapatkan lagi, ia mengambil saksi dari sya’ir-sya’ir sastrawan Arab kenamaan. Semua pemikiran yang diproses melalui paradigma ini di-tuangkan dalam kitab-kitab karangannya, baik berbentuk nazham (syair puitis) atau berbentuk natsar (prosa). Pada umumnya, karangan tokoh ini lebih baik dan lebih indah dari pada tokoh-tokoh pendahulunya.
Di anatara ulama, ada yang menghimpun semua tulisannya, ternyata tulisan itu lebih banyak berbentuk nazham. Demikian tulisan Al-Sayuthi dalam kitabnya, Bughyat al-Wu’at. Di antara karangannya adalah Nazham al-Kafiyah al-Syafiyah yang terdiri dari 2757 bait. Kitab ini menyajikan semua informasi tentang IlmuNahwu dan Sharaf yang diikuti dengan komentar (syarah). Kemudian kitab ini di-ringkas menjadi seribu bait, yang kini terkenal dengan nama Alfiyah Ibn Malik.
Kemudian pada tanggal 12 Sya’ban 672 H., ulama pendiam yang banyak mengamalkan ibadah sunnah ini, wafat dan dikuburkan di Damaskus.
Alfiyah Ibn Malik
Kitab ini bisa disebut Al-Khulashah (ringkasan) karena isinya mengutip inti urai-an dari Al-Kafiyah, dan bisa juga disebut Alfiyah (ribuan) karena bait syiirnya terdiri dari seribu baris. Kitab ini terdiri dari delapan puluh (80) bab, dan setiap bab diisi oleh beberapa bait. Bab yang terpendek diisi oleh dua bait seperti Bb al-Ikhtishash dan bab yang terpanjang adalah Jama’ Taktsir karena diisi empat puluh dua bait.
Dalam muqaddimahnya, kitab puisi yang memakai Bahar Rajaz ini disusun dengan maksud (1) menghimpun semua permasalahan nahwiyah dan sharaf yang dianggap penting. (2) menerangkan hal-hal yang rumit dengan bahasa yang singkat , tetapi sanggup menghimpun kaidah yang berbeda-beda, atau dengan sebuah contoh yang bisa menggambarkan satu persyaratan yang diperlukan oleh kaidah itu.(3) mem-bangkitkan perasaan senang bagi orang yang ingin mempelajari isinya. Semua itu terbukti, sehingga kitab ini lebih baik dari pada Kitab Alfiyah karya Ibn Mu’thi. Meskipun begitu, penulisnya tetap menghargai Ibn Mu’thi karena tokoh ini membuka kreativitas dan lebih senior. Dalam Islam, semua junior harus menghargai seniornya, paling tidak karena dia lebih sepuh, dan menampilkan kreativitas.
Kitab Khulashah yang telah diterjemahkan ke dalam banyak bahasa di dunia ini, memiliki posisi yang penting dalam perkembangan Ilmu Nahwu. Berkat kitab ini dan kitab aslinya, nama Ibn Malik menjadi popular, dan pendapatnya banyak dikutip oleh para ulama, termasuk ulama yang mengembangkan ilmu di Timur. Al-Radli, seorang cendekiawan besar ketika menyusun Syarah Al-Kafiyah karya Ibn Hajib, banyaklah mengutip dan mempopulerkan pendapat Ibn Malik. Dengan kata lain, perkembangan nahwu setelah ambruknya beberapa akademisi Abbasiyah di Baghdad, dan merosot-nya para ilmuan Daulat Fathimiyah di Mesir, maka para pelajar pada umumnya mengikuti pemikiran Ibn Malik.
Sebelum kerajaan besar di Andalusia runtuh, pelajaran nahwu pada awalnya, tidak banyak diminati oleh masyarakat. Tetapi setelah lama, pelajaran ini menjadi kebutuhan dan dinamislah gerakan karang-mengarang kitab tentang ilmu yang menarik bagi kaum santri ini. Di sana beredarlah banyak karangan yang beda-beda, dari karangan yang paling singkat sampai karangan yang terurai lebar. Maksud penulisnya ingin menyebarkan ilmu ini, kepada masyarakat, dan dapat diambil manfaat oleh kaum pelajar. Dari sekian banyak itu, muncullah Ibn Malik, Ibn Hisyam, dan al-Sayuthi. Karangan mereka tentang kitab-kitab nahwu banyak menampilkan metoda baru dan banyak menyajikan trobosan baru, yang memperkaya khazanah keilmuan. Mereka tetap memampilkan khazanah keilmuan baru, meskipun banyak pula teori-teori lama yang masih dipakai. Dengan kata lain, mereka menampilkan gagasan dan kreatifitas yang baru, seolah-olah hidup mereka disiapkan untuk menjadi penerus Imam Sibawaih. Atas dasar itu, Alfiyah Ibn Malik adalah kitab yang amat banyak dibantu oleh ulama-ulama lain dengan menulis syarah (ulasan) dan hasyiyah (catatan pinggir) terhadap syarah itu..
Syarah Alfiyah
Dalam kitab Kasyf al-Zhunun, para ulama penulis Syarah Alfiyah berjumlah lebih dari empat puluh orang. Mereka ada yang menulis dengan panjang lebar, ada yang menulis dengan singkat (mukhtashar), dan ada pula ulama yang tulisannya belum selesai. Di sela-sela itu muncullah beberapa kreasi baru dari beberapa ulama yang memberikan catatan pinggir (hasyiyah) terhadap kitab-kitab syarah.
Syarah Alfiyah yang ditulis pertama adalah buah pena putera Ibn Malik sendiri, Muhammad Badruddin (w.686 H). Syarah ini banyak mengkritik pemikiran nahwiyah yang diuraikan oleh ayahnya, seperti kritik tentang uraian maf’ul mutlaq, tanazu’ dan sifat mutasyabihat. Kritikannya itu aneh tapi putera ini yakin bahwa tulisan ayahnya perlu ditata ulang. Atas dasar itu, Badruddin mengarang bait Alfiyah tandingan dan mengambil syahid dari ayat al-Qur’an. Disitu tampak rasional juga, tetapi hampir semua ilmuan tahu bahwa tidak semua teks al-Qur’an bisa disesuaikan dengan teori-teori nahwiyah yang sudah dianggap baku oleh ulama. Kritikus yang pada masa mudanya bertempat di Ba’labak ini, sangat rasional dan cukup beralasan, hanya saja ia banyak mendukung teori-teori nahwiyah yang syadz Karena itu, penulis-penulis Syarah Alfiyah yang muncul berikutnya, seperti Ibn Hisyam, Ibn Aqil, dan Al-Asymuni, banyak meralat alur pemikiran putra Ibn Malik tadi. Meskipun begitu, Syarah Badrudin ini cukup menarik, sehingga banyak juga ulama besar yang menulis hasyiyah untuknya, seperti karya Ibn Jama’ah (w.819 H), Al-‘Ainy (w.855 H), Zakaria al-Anshariy (w.191 H), Al-Sayuthi (w.911 H), Ibn Qasim al-Abbadi (w.994 H), dan Qadli Taqiyuddin ibn Abdulqadir al-Tamimiy (w.1005 H).
Di antara penulis-penulis syarah Alfiyah lainnya, yang bisa ditampilkan dalam tulisan ini, adalah Al-Muradi, Ibn Hisyam, Ibn Aqil, dan Al-Asymuni.
Al-Muradi (w. 749 H) menulis dua kitab syarah untuk kitab Tashil al-Fawaid dan Nazham Alfiyah, keduanya karya Ibn Malik. Meskipun syarah ini tidak popular di Indonseia, tetapi pendapat-pendapatnya banyak dikutip oleh ulama lain. Antara lain Al-Damaminy (w. 827 H) seorang sastrawan besar ketika menulis syarah Tashil al-Fawaid menjadikan karya Al-Muradi itu sebagai kitab rujukan. Begitu pula Al-Asymuni ketika menyusun Syarah Alfiyah dan Ibn Hisyam ketika menyusun Al-Mughni banyak mengutip pemikiran al-Muradi yang muridnya Abu Hayyan itu.
Ibn Hisyam (w.761 H) adalah ahli nahwu raksasa yang karya-karyanya banyak dikagumi oleh ulama berikutnya. Di antara karya itu Syarah Alfiyah yang bernama Audlah al-Masalik yang terkenal dengan sebutan Audlah . Dalam kitab ini ia banyak menyempurnakan definisi suatu istilah yang konsepnya telah disusun oleh Ibn Malik, seperti definisi tentang tamyiz. Ia juga banyak menertibkan kaidah-kaidah yang antara satu sama lain bertemu, seperti kaidah-kaidah dalam Bab Tashrif. Tentu saja, ia tidak hanya terpaku oleh Mazhab Andalusia, tetapi juga mengutip Mazhab Kufa, Bashrah dan semacamnya. Kitab ini cukup menarik, sehingga banyak ulama besar yang menulis hasyiyahnya. Antara lain Hasyiyah Al-Sayuthi, Hasyiyah Ibn Jama’ah, Ha-syiyah Putera Ibn Hisyam sendiri, Hasyiyah Al-Ainiy, Hasyiyah Al-Karkhi, Hasyiyah Al-Sa’di al-Maliki al-Makki, dan yang menarik lagi adalah catatan kaki ( ta’liq ) bagi Kitab al-Taudlih yang disusun oleh Khalid ibn Abdullah al-Azhari (w.905 H).
Adapun Ibn Aqil (w.769 H) adalah ulama kelahiran Aleppo dan pernah menjabat sebagai penghulu besar di Mesir. Karya tulisnya banyak, tetapi yang terkenal adalah Syarah Alfiyah. Syarah ini sangat sederhana dan mudah dicerna oleh orang-orang pemula yang ingin mempelajari Alfiyah Ibn Malik . Ia mampu menguraikan bait-bait Alfiyah secara metodologis, sehingga terungkaplah apa yang dimaksudkan oleh Ibn Malik pada umumnya. Penulis berpendapat, bahwa kitab ini adalah Syarah Alfiyah yang paling banyak beredar di pondok-pondok pesantren, dan banyak dibaca oleh kaum santri di Indonesia. Terhadap syarah ini, ulama berikutnya tampil untuk menulis hasyiyahnya. Antara lain Hasyiyah Ibn al-Mayyit, Hasyiyah Athiyah al-Ajhuri, Hasyiyah al-Syuja’i, dan Hasyiyah Al-Khudlariy.
Syarah Alfiyah yang hebat lagi adalah Manhaj al-Salik karya Al-Asymuni (w. 929 H). Syarah ini sangat kaya akan informasi, dan sumber kutipannya sangat bervariasi. Syarah ini dapat dinilai sebagai kitab nahwu yang paling sempurna, karena memasukkan berbagai pendapat mazhab dengan argumentasinya masing-masing. Dalam syarah ini, pendapat para penulis Syarah Alfiyah sebelumnya banyak dikutip dan dianalisa. Antara lain mengulas pendapat Putra Ibn Malik, Al-Muradi, Ibn Aqil, Al-Sayuthi, dan Ibn Hisyam, bahkan dikutip pula komentar Ibn Malik sendiri yang dituangkan dalam Syarah Al-Kafiyah , tetapi tidak dicantumkan dalam Alfiyah . Semua kutipan-kutipan itu diletakkan pada posisi yang tepat dan disajikan secara sistematis, sehingga para pembaca mudah menyelusuri suatu pendapat dari sumber aslinya.
Kitab ini memiliki banyak hasyiyah juga, antara lain : Hasyiyah Hasan ibn Ali al-Mudabbighi, Hasyiyah Ahmad ibn Umar al-Asqathi, Hasyiyah al-Hifni, dan Hasyiyah al-Shabban. Dalam muqaddimah hasyiyah yang disebut akhir ini, penulisnya mencantumkan ulasan, bahwa metodanya didasarkan atas tiga unsure, yaitu (a) Karangannya akan merangkum semua pendapat ulama nahwu yang mendahului penulis, yang terurai dalam kitab-kitab syarah al-Asymuni. (b) Karangannya akan mengulas beberapa masalah yang sering menimbulkan salah faham bagi pembaca. (c) Menyajikan komentar baru yang belum ditampilkan oleh penulis hasyiyah sebelumnya. Dengan demikian, kitab ini bisa dinilai sebagai pelengkap catatan bagi orang yang ingin mempelajari teori-teori ilmu nahwu.
Kitab Alfiyah di Jawa dan Madura
Sebagaimana telah disebutkan di atas, bahwa Alfiyah Ibn Malik banyak diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa di dunia. Di pondok-pondok pesantren di Jawa dan Madura, kitab ini diberi makna bahasa Jawa kemudian diulas dan diterangkan dengan bahasa Jawa, atau Madura, atau Sunda. Tetapi kaum santri sendiri tidak pernah memperhatikan, siapa yang mula-mula mengajarkan Alfiyah di kawasan ini.
L.W.C. Van den Berg (1886) meneliti tentang kitab-kitab kuning yang beredar di bebera pesantren di Jawa dan Madura. Saat itu ia menemukan Alfiyah Ibn Malik dan syarahnya, Al-Asymuni di beberapa pesantren. Tetapi orientalis Belanda ini tidak menerangkan apakah Alfiyah itu dijadikan kurikulum di pesantren tadi, atau hanya menjadi perpustakaan bagi pengasuh. Dalam sejarah pendidikan Islam di Indonesia, kitab ini wajar dibanggakan karena kurikulum inti di pesantren, adalah fiqh dan nahwu. Dari segi lain, hubungan lalu lintas antara Jawa, Makkah dan Mesir sudah lancar, berkat dibukanya Terusan Suez pada tahun 1870. Pembukaan terusan ini menjadikan kapal-kapal Eropa yang akan mengangkut rempah-rempah, kayu, dan lain-lain dari kawasan Nusantara, melalui sepenanjung Arab dan berhenti di Jeddah, Lalu lintas ini dapat dimanfaatkan oleh orang-orang yang hendak menunaikan ibadah hajji, atau hendak belajar ilmu di Makkah dan Mesir.
Dengan demikian, dapat diraba bahwa Alfiyah Ibn Malik masuk ke pesantren-pesantren di Jawa dan Madura adalah pada pertengahan abad sembilan belas. Meskipun begitu, ada peluang bagi muballigh untuk cerita bahwa guru-gurunya Kiyai Shalih Ndarat Semarang, gurunya Kiyai Ahmad Ripangi Kalisalak, gurunya Kiyai Taftazani Tegalrejo, gurunya Embah Mutamakkin Pati dan lain-lain yang hidup pada akhir abad delapan belas, sudah mengenal Kitab Alfiyah. Tetapi penulis ragu pada uraian muballigh tadi. Yang jelas percetakan kitab berbahasa Arab yang dipelopori oleh Ibrahim Mutafarrika di Istambul Turki pada tahun 1727, sangatlah terbatas jumlah dan pemasarannya. Karena itu, kalau Alfiyah telah hadir waktu itu maka hanya merupakan barang elit saja.
Dalam sejarah perkembangan ilmu agama, banyak sekali pemuda-pemuda dari kawasan nusantara yang belajar ilmu di Makkah dan Mesir. Maka mulai masuk abad sembilan belas, muncullah ulama besar seperti Syaikh Nawawi Banten, Syekh Mahfuz Termas, Kiyai Khalil Madura, Kiyai Hasyim Jombang, dan banyak lagi ulama di Sumatra, Nusa Tenggara Barat, dan pulau-pulau besar lainnya. Di antara tokoh-tokoh tersebut, Syaikh Nawawi Banten menulis Syarah al-Ajrumiyah tentang ilmu nahwu, dan dicetak pada tahun 1881 M. Munkin karangan ini mengutip juga beberapa syarah Alfiyah, sebab waktu itu kitab-kitab semacam ini banyak dipelajari pula oleh para pemuda antara lain oleh Muhammad Khalil Bangkalan Madura.
Kiyai kharismatik yang terkenal wali ini memiliki badan besar dan perutnya juga besar. Suatu ketika beliau cerita : Perut saya ini besar, tetapi kalau ditepuk akan keluarlah Nazham Burdah atau Nazham Alfiyah. Demikian tutur K.H.A. Syathari, pendiri Pesantren Arjawinangun Cirebon. Dengan demikian, kiyai yang selama hayatnya mengasuh Pesantren di Demangan Bangkalan ini sangat ihtimam dan mementingkan pengajaran Kitab Alfiyah. Perhatian semacam itu, diteruskan murid-murid di pesantrennya masing-masing, seperti Embah Manaf di Lirboyo Kediri, Embah Maksum di Lasem, Kiyai Khozin Sidoarjo dan lain-lain
Dengan demikian dapat diraba, bahwa Alfiyah Ibn Malik masuk ke pesantren di Jawa dan Madura adalah pertengahan abad sembilan belas, dan dibawakan oleh pemuda-pemuda yang belajar di Timur Tengah. Kreatifitas mereka adalah meng-uraikan isi kitab itu disertai uraian syarahnya. Nazham (matan) diberi makna (ap-sahan) dengan bahasa Jawa (utawi, iku, sapa, apane, dsb.). Sedangkan syarahnya diuraikan dengan bahasa Jawa, disertai dengan aneka macam contoh, baik berupa kata mutiara atau syair-syair yang indah seperti peninggalan Imri al-Qais.
Memang kita tidak bisa menutup mata bahwa pesantren-pesantren lama di Jawa seperti Pesantren Langitan di Babat, Pesantren Kiyai Nawawi di Babakan Cirebon, atau seperti Madrasah Manba’ul Ulum di Solo itu mempunyai andil besar terhadap sosialisasi pengajaran kitab nahwu yang satu ini. Tetapi murid-murid mereka tidak secanggih murid Kiyai Khalil Madura dalam mempopulerkan kitab nazham yang ringkas dan indah ini.
Di Jawa Barat, pelajaran kitab ini sangat diminati oleh beberapa pesantren di Tasikmalaya, Garut, Cianjur, Bandung, dan lain-lainnya. Kitab ini masuk di pasundan sebelum Indonesia merdeka, atau sekitar abad 19 dan awal abad 20. Tetapi anehnya, ajengan yang mengajarkan kitab ini (dulu) memberikan makna dengan bahasa Jawa, kemudian diterangkan dengan bahasa Sunda. Tetapi setelah tahun enam puluhan, para ajengan di Pasundan mulai menerapkan makna pada kitab-kitab klasik dengan bahasa Sunda. Penerapan struktur katanya persis seperti makna (apsahan) bahasa Jawa, tetapi diganti dengan bahasa Sunda. (ari, eta, saha, sifatna, naona, dsb.)
Sebagai penutup, kitab yang menjadi favorit bagi kaum santri ini, kini memerlukan pemikiran baru untuk dilestarikan nilainya, dan dikemas sedemikian rupa agar ia sesuai dengan perkembangan ilmu dan teknologi. Wallahu a’lam.
1 Penulis adalah alumni Pesantren Dar al-Tawhid Arjawinangun Cirebon, dan Pesantren Al-Munawir Krapyak Yogyakarta.
Bicara bukan sekedar membunyikan suara dari mulut. Bicara bisa diaplikasikan dengan menulis, menjadikan orang yang menerima pesan mengerti apa maksud kita. ولا تموتن الا و انتم كاتبون PANTANG MENINGGAL SEBELUM BERKARYA (AMY) الخط يبقى زمانا بعد صاحبه # وكاتب الخط تحت الأرض مدفون Buku akan kekal sepanjang masa, sementara penulisnya hancur terkubur di perut bumi.
Jumat, 21 September 2012
Ibn Malik pengerang Alfiyah
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
the statements and comments are will be a very useful in all