Minggu, 17 Mei 2015

“Motif Kajian Orientalis Terhadap Al-Quran”

Al-Qur‘an sebagai kitab suci tidak henti-hentinya dikaji oleh para penggiat dan sarjana yang mendalami kajiannya, ketertaraikan -baik sarjana muslim ataupun non muslim hususnya di barat- terhadap al-Qur‘an tidak akan ada habisnya karena al-Qur‘an  membuka diri secara elastis untuk dikaji dan didalami oleh siapapun. Sebagai kitab suci petunjuk utama umat muslim dalam menjalani maksud dan tujuan dari kala>m Allah tersebut, tentu saja al-Qur‘an menjadi sumber utama dalam ritual agamanya yang harus selalu dikaji.
Sudah sejak lama dunia barat pun tertarik untuk mempelajarinya. Perhatian barat terhadap kajian-kajian ketimuran hususnya al-Qur‘an sejalan dengan karya karya kesarjanaan muslim yang di bawa ke barat. Sumber-sumber tersebut manjadi bacaan yang wajib dikaji dan menjadi pusat perhatian sarjana barat dan para gerejawan.
Beberapa karya yang menandai perkembangan kajian al-Qur’an di barat adalah Dirk Bakker, Man in the Qur’an (Amsterdam, 1965); Harris Birkeland, The Lord guideth: Studies on Primitive Islam, Oslo, 1956; Toshihiko Izutsu, God and Man in the Koran: Semantics of the Koranic Weltanschauung (Tokyo, 1964), Ethico-Religious Concepts in the Qur’an (Montreal, 1966), dan banyak lagi karya yang ditulis oleh kalangan sarjana Barat.
Dalam buku A History of Philosophical System, Edward J. Jurji menulis artikel berjudul Arabic and Islamic Philosophy. Dalam artikel itu ia mengakui adanya sumbangan peradaban Arab-Islam kepada peradaban Barat Baru (New West). Tapi ia dengan tegas menyatakan bahwa itu semua tidak berasal dari jazirah Arab.
Semakin banyak karya yang di kaji dari sumber Islam tersebut maka semakin pesat perkembangan kajian Islam yang dilakukan baik di Timur maupun di Barat, oleh karena itu dalam hal ini sarjana muslim dituntut untuk membuka diri agar menerima kajian kajian barat dan menganalisanya secara kritis sebagai upaya memperluas pengetahuan dan mengikuti perkembangannya.
Banyak manfaat yang bisa diambil dari khazanah orientalisme. Studi mereka tentang Qur’an, Hadis, dan sejarah Nabi merupakan bekal yang sangat berharga bagi kita untuk mengungkapkan misteri masa-masa awal sejarah Islam.
Dalam kajian berbagai bidang keilmuan, termasuk bidang Islamic Studies, harus diakui, Barat/orientalis telah mencapai tahap perkembangan besar dengan segala motifnya, baik motif keilmuan, keagamaan, atau pun motif politik-ekonomi. Karena itulah, sikap kritis sangat diperlukan. Masalahnya adalah bagaimana dapat bersikap kritis? Apa metodologi dan bekal untuk bersikap kritis? Tanpa penguasaan yang baik terhadap kedua khazanah: Islam dan Barat, maka sulit diharapkan, akan muncul sikap kritis yang benar. Bisa-bisa yang terjadi sebaliknya: menyangka telah bersikap kritis, tetapi justru yang terjadi adalah mengkritisi Islam dengan cara pandang non-Muslim.

Motif Kajian Kesarjanaan Barat
Orientalisme adalah sebuah istilah yang berasal dari kata orient yang secara harfiah berarti timur. Kata ini secara geografis berarti dunia belahan timur, dan secara etnologis berarti bangsa-bangsa ditimur. Sedangkan oriental adalah sebuah kata sifat yang berarti hal-hal yang bersifat timur yang cakupannya amat luas. Sementara orientalis adalah ilmuwan barat yang mendalami masalah-masalah ketimuran yang di dalamnya tentang bahasa-bahasa, kesusastraan, peradaban dan agama timur.
Namun terkadang penamaan orientalis hanya dibatasi kepada orang-orang yang mengkaji pemikiran Islam dan peradabannya. Dengan begitu, orientalisme dimaknai sebagai satu cara atau sikap mengenai hal-hal yang bersifat Timur yang secara terminologis biasanya identik dengan paradigma berpikir pembedaan ontologis dan epistemologis yang dibuat antara Timur (the Orient) dan Barat (the Occident).
Dalam perkembangannya, fokus utama kajian orientalis adalah agama Islam hususnya al-Qur‘an dan bahasa Arab, karena keduanya merupakan faktor terbesar dari ketertarikan orientalis disamping gagasan, politik, dan teologi yang mewarnai kehidupan masa kini. Dalam beberapa kajian,   mereka melakukan di bawah proyek besar orientalis dengan menjelajahi dunia Timur.
Sejarah mencatat bahwa orang-orang seperti Jerbert de Oraliac (938-1003 M) Adelard of Bath ( 1070 – 1135) Pierre le venerable ( 1094-1156 M) Gerard de Gremona ( 1114-1187M) dan Leonardo Fibonacci (1170-1241 M) pernah tinggal di andalus dan mempelajari Islam di kota-kota seperti Toledo, Cordova dan Sevilla. Robert of Chater ( popular antara tahun 1141-1148 M) dan kawannya yang bernama Herman Alemanus ( w 1172 M) selesai menterjemahkan al-Qur’an atas saran dari Paus Silvestre II pada tahun 1143 M.
Sekalipun pengetahuan mereka tentang sejarah pemikiran keislaman mendalam, namun kajian mereka tetap fragmentatif. Mereka tidak menghubungkan kajian mereka tentang Islam yang spesifik dengan prinsip yang umum dan universal. Kajian mereka tentang hal-hal yang spesifik seperti tentang sejarah al-Quran, etika dalam Islam, politik dalam Islam, dan lain-lain tidak dikaitkan dengan makna Islam sebagai suatu agama dan pandangan hidup yang memiliki prinsip dan tradisinya sendiri. Prinsip bahwa ilmu mendorong kepada iman, misalnya, tidak tecermin dalam tulisan-tulisan mereka. Ilmu-ilmu keislaman yang mereka miliki tidak mendorong pembacanya untuk beriman kepada Allah SWT. Tidak juga membuat mereka sendiri yakin dengan kebenaran Islam. Dan yang jelas mereka tidak bisa disebut sebagai ulama.
Menurut ulil Abshar, Edward Said agak abai untuk melihat karya-karya orientalis Jerman, Rusia, dan Austria, dan hanya mencecar karya-karya orientalis di Inggris, Perancis, dan Amerika. Lewis mengkritik, bahwa penggunaan istilah "Orientalisme" oleh Said itu sendiri telah "salah jalur" karena dilepaskan dari sejarah pertumbuhan disiplin yang disebut Orientalisme itu. Setelah kritik Said itu, istilah Orientalisme menjadi semacam olok-olok; ia identik dengan kegiatan intelektual yang membantu kaum kolonialis Barat untuk menjajah tanah-tanah di dunia Timur. Orientalisme telah menjadi, dalam kata Lewis, "the perversion of language", kelainan bahasa (kelainan dalam pengertian yang kita pahami dalam kata "kelainan seksual"). Dalam penggunaan populer di kalangan umat Islam, jika seseorang disebut sebagai "orientalis", habislah riwayat intelektualnya.
Titik krusial lain dalam karya Said adalah bahwa pembelaannya atas dunia Islam dan Arab melawan "kolonialisme intelektual" Barat bisa menjadi senjata di tangan kaum fundamentalis Islam yang juga mempunyai tendensi yang fanatik ke arah solipsisme budaya. Ketika membaca ulang karya Said itu, saya mulai berpikir ulang: apa bedanya Said dengan para pengkritik orientalis di dunia Arab saat ini, seperti Dr Muhammad Al Bahy. Umumnya para pengkritik Orientalisme di dunia Arab mempunyai kecenderungan pemikiran keagamaan yang konservatif. Para pengkritik itu juga mudah menuduh para pemikir liberal di dunia Islam sebagai antek Orientalisme.
Motif Ketertarikan terhadap kajian al-Qur‘an dalam kajian-kajian orientalis dengan berbagai diskursus studi keislaman ini, sebenarnya bisa diberi pengertian bahwa mereka adalah orang-orang yang dengan sengaja menyerang keyakinan umat Islam dan mendiskreditkan Islam, sedangkan mempelajari tradisi Islam merupakan topeng. Pengertian ini didasarkan pada peristiwa Perang Salib, dimana bangsa Barat mengalami kekalahan atas bangsa Timur dalam memperebutkan kawasan Palestina, tempat ziarah kaum Nasrani, yang dimenangkan tentara Islam pimpinan Salahuddin al-Ayubi. Dari sinilah, orientalis kemudian tertuju kepada penjajahan dunia Islam, dengan berkedok menggali dan mempelajari khazanah Islam, yang muara akhirnya hanyalah untuk menghancurkan Islam.
Hal ini tak lepas dari kesadaran mereka, bahwa Islam tidak bisa diperangi secara fisik sehingga mereka lebih memilih pada perang fikir. Lalu mengapa hadis dijadikan salah satu sasaran empuk mereka, hal ini berawal dari persepsi mereka yang mengatakan bahwa agama yang paling benar adalah agama Yesus bukan Islam, sementara al-Qur’an yang dijadikan pegangan umat Islam bukanlah wahyu. Selanjutnya Muhammad dijadikan referensi, dengan mencari titik kelemahan Muhammad sebagai individu bukan sebagai wahyu atau utusan.  Akhirnya, sebagai sumber otoritas kedua mereka-pun menelanjangi Hadis, dalam kenyataannya mereka gagal menyerang dan meragukan al-Qur’an. Meminjam istilah Abdul Ra’uf, misi dari orientalis ini adalah penghancuran tradisi (destructio of the tradition).
Sikap dan pandangan Dante Alighieri terhadap Islam dan terutama terhadap Nabi Muhammad mencerminkan motif yang terang benderang karena factor kebencian. Dante menempatkan Muhammad, dengan tubuhnya terbelah dari kepala sampai ke pinggang, pada tingkatan yang ke-28 dari Inferno (neraka), dan melukiskannya mengoyak-ngoyak dadanya dengan tangannya sendiri, sebab dia itu adalah pemuka dari jiwa-jiwa terkutuk yang membangkitkan perpecahan dalam agama. Kejahatan Muhammad adalah mengembangkan agama palsu. Dante menyatakan kejahatan Muhammad adalah mengembangkan agama palsu oleh karenanya sebagian dari mereka mengatakan bahwa Islam adalah berasal dari agama yahudi dan nasrani, sebagaimana Hurgronje menggambarkan ritual haji seperti thawaf dan mencium hajar aswad adalah sebagai praktik paganism yang direduksi islam. Richard bell menyatakan Muhammad menyusun al-Qur’an berasaskan sumber dari kitab yahudi, khususnya perjanjian lama dan juga dari orang-orang nasrani.
Sikap menghina Rasulullah SAW berlanjut pada zaman pertengahan Barat. Pada saat itu, Rasulullah SAW disebut sebagai Mahound, atau juga Mahoun, Mahun, Mahomet, di dalam bahasa Prancis Mahon, di dalam bahasa Jerman Machmet, yang sinonim dengan setan, berhala. Jadi, Muhammad bukan sebagai seorang nabi palsu. Lebih dari itu, ia merupakan seorang penyembah berhala yang disembah oleh orang Arab yang bodoh.  Sikap dan pandangan Dante itu dapat dipahami bila di sorot dari beberapa faktor penyebab. Pertama, permusuhan dan kebencian yang diwariskan Perang Salib (1096-1274) masih berpengaruh demikian besar di Eropa dewasa itu. Kedua, kecuali karya-karya ilmiah dan filsafat, manuskrip-manuskrip Arab dalam bidang agama dan sejarah hidup Nabi Besar Muhammad SAW, tidak pernah disalin ke dalam bahasa latin masa itu. Ketiga, sikap dan pandangan Dante itu disebabkan oleh kebodohannya terhadap  kenyataan  sejarah. Keempat,  menurut  dokumen  vatikan  tahun 1972, disebabkan prasangka dan fitnah.
Dalam kesempatan lain Said menegaskan bahwa kebanyakan kajian Barat terhadap peradaban Islam lebih dianggap sebagai intelektualisme politik yang dibengkokkan  menjadi pengakuan akan kebenaran diri sendiri dibandingkan dengan penelitian yang obyektif. Said mengungkapkan kritiknya terhadap orientalisme dengan memakai beberapa teori, seperti knowledge and power-nya Michel Foucault, hegemony- nya Antonio Gramsci, ditambah pandangan para kritisi orientalisme terdahulu seperti A.L. Tibawi, Anouar Abdel-Malek, Maxime Rodinson, dan Richard William Southern. Dalam kritiknya, ia menegaskan bahwa karya-karya Barat tentang persoalan ketimuran yang menyisipkan pandangan Barat terhadap Timur merupakan ungkapan kecurigaan yang tidak bisa diambil sebagai pandangan atau nilai yang bersifat umum. Menurutnya, kekuasan kolonial Eropa dan dominasi politik mereka terhadap dunia timur telah menenggelamkan arti penting karya-karya tersebut, bahkan terhadap kebanyakan karya yang sudah banyak dikenal, dan memiliki pandangan baik. Menurutnya, pandangan para orientalis Barat yang nampak penuh simpati hanyalah sebuah ungkapan yang bernada ejekan (pejorative).
Secara ringkas, Said menyimpulkan:
Orientalism concluded that Western writing about the Orient depicts it as an irrational, weak, and feminised Other, an existential condition contrasted with the rational, strong, and masculine West. This binary relation derives from the European psychological need to create a difference of cultural inequality between West and East; that cultural difference is attributed to immutable cultural "essences" inherent to Oriental peoples and things.
bahwa orientalisme yang diciptakan oleh Barat mendeskripsikan dunia timur sebagai sesuatu yang bersifat irasional, lemah, feminin, dan asing, berlawanan dengan apa yang mereka sebut sebagai diri mereka  sendiri  yang rasional,  kuat,  maskulin,  dan  Barat.  Sebuah  kontras  yang menurutnya menjadi akar bagi perlunya penciptaan “difference” ala Jacques Derrida, yaitu perbedaan antara Barat dan Timur yang masing-masing disifati sebagai “essensi-essensi” yang tidak mungkin berubah selamanya.
Kritik tersebut direspon balik oleh Bernard Lewis. Ia beranggapan bahwa orientalisme berkembang dari sebuah sudut pandang humanisme yang dikembangkan Eropa dan bersifat independen dari masa lalu ekspansi kolonial mereka. Ia mencatat bahwa bangsa Perancis dan Inggris sudah mempelajari Islam pada abad ke-16 dan 17. Memang, semua itu tidak dilakukan dalam sebuah cara yang terorganisasi, tapi itu sudah berlangsung lama sebelum mereka memiliki harapan untuk bisa menguasai kawasan Timur Tengah. Banyak hal di antara kajian-kajian orientalisme yang tidak terkait sama sekali dengan persoalan imperialisme. Ia mencontohkan, tujuan imperialisme macam apa yang muncul dari mempelajari bahan-bahan tulisan dalam bahasa Mesir kuno, dan dalam upaya-upaya menyelamatkan pengetahuan lama bangsa Mesir yang menjadi kebanggaan yang terlupakan dari masa lalu mereka.
Polemik antara Edward Said dan Bernard Lewis dalam menilai motivasi dari munculnya kajian-kajian ketimuran, khususnya tentang Islam, memang seperti kesan umum yang nampak dari dua sudut pandang berbeda yang memisahkan Barat dan Timur. Secara khusus, dalam menilai motivasi yang melatarbelakangi para orientalis Barat ketika mengkaji al-Qur’an dan hadis sepanjang sejarah kesarjanaan mereka, harus kita katakan bahwa pada dasarnya mereka memang melakukan sebuah kajian ilmiah atau penelitian akademik, yang idealnya seperti kritik Said, sudah semestinya bersifat objektif. Namun, kajian-kajian tersebut tidak berkembang begitu saja dan bebas dari pengaruh   non-akademik.
Dalam pengantar karya Goldziher yang berjudul Introduction to Islamic Theology and Law, Bernard Lewis menilai bahwa Goldziher berupaya keras untuk mempertahankan otentisitas dan keaslian Islam melawan pandangan-pandangan miring dari luar, maupun mereka yang melakukan kesalahan, atau bahkan mereka yang hendak merusak dari dalam Islam itu sendiri. Ia juga menolak gagasan sarjana kristen yang mengusung rasionalisme yang berat sebelah. Selain itu, ia juga konsen menjaga Islam dari  unsur-unsur yang, menurutnya, dapat dianggap merendahkan, maupun argumentasi yang kurang beralasan dari para ahli fiqih yang dipandang sebagai bentuk korupsi dan menyalahi karakter Islam yang sebenarnya.
Namun, untuk bisa berkembang baik, kajian-kajian akademik memerlukan dukungan dalam bentuk dana penelitian yang berasal dari pihak sponsor atau grant (beasiswa penelitian) yang diberikan kepada para peneliti. Fenomena yang paling umum adalah ketika penelitian menjadi karir atau pekerjaan yang dilakoni para peneliti  guna memenuhi kelangsungan hidup mereka, maka para sarjana yang terlibat di dalam sebuah proyek penelitian yang menggantungkan diri dari dana grant yang diberikan oleh pihak sponsor, maka para peneliti menjadi begitu terikat dengan lembaga pemberi dana tersebut. Imbal baliknya, ia tidak akan berani secara terang-terangan untuk keluar dari garis yang sudah ditentukan oleh institusi yang menaunginya, lantaran hal itu mengancam kelangsungan hidupnya sendiri.
Dalam dilema penelitian semacam ini, yang perlu diuji adalah apakah ada hubungan langsung yang bersifat timbal balik antara negara/lembaga keagamaan tertentu dan sarjana-sarjana peneliti; sehingga jabatan Snouck Hurgronje sebagai penasihat pemerintah Hindia Belanda, Goldziher sebagai anggota komunitas Yahudi di Hongaria, atau Tisdall sebagai missionary sebuah institusi gereja patut dicurigai memiliki kaitan yang saling mempengaruhi. Begitu juga grant yang diberikan negara kepada para peneliti lain seperti A.J. Wensinck atau J. Schacht juga berdampak pada penguatan peran dominan negara/lembaga donor tertentu sehingga kemudian hasil penelitiannya dapat dimanfaatkan untuk kepentingan politik kekuasaan. Selain adanya tujuan politis yang dinyatakan dengan terus terang, ada pula kenyataan yang menandai pemakaian hasil kajian akademik untuk kepentingan politik praktis, seperti karya-karya penelitian  tentang hadis  yang dipakai  sebagai  bahan  pembekalan  para diplomat Kerajaan Belanda yang akan bertugas di negara-negara Muslim, dengan maksud agar mereka bisa lebih memahami kebiasaan-kebiasaan yang berlaku di negeri yang akan ditempatinya.
Selain kecenderungan non-akademik yang menyertai motivasi orientalis lama, dalam kerangka kajian antar agama yang lebih berimbang, orientalisme juga sebenarnya melahirkan beberapa motivasi yang bersifat otokritik terhadap agama yang dianutnya sendiri.
Dalam karya orientalis seperti T. Andrae yang menulis Mohammed The Man and His Faith, ia menegaskan sebuah motivasi kajian yang bersumber dari ketidak-tahuan Barat terhadap karakter ketaatan Muhammad. Menurutnya, sebabnya memang bukan semata ketidaktahuan (Barat) saja, tetapi juga sikap dogma lama (Kristen) terhadap figur Muhammad yang disebutnya sebagai “nabi palsu”, atau kebencian politik terhadap kaum muslim yang dijuluki sebagai “the dog of a Turk”, di samping juga lantaran seorang Kristen melihat banyak hal dalam Islam yang mengingatkannya pada agamanya sendiri, akan tetapi ia melihatnya melalui bentuk yang sangat terdistorsi. Oleh karena itu, menurut Andrae, sebagai sebuah kajian ilmiah, pandangan terhadap Islam selayaknya dilakukan dengan memahami keunikannya, semangat yang menumbuhkannya sebagai agama baru pada momen dan tempat kelahirannya yang memang sudah memiliki nilai semenjak awal kemunculannya.
Untuk tujuan-tujuan yang begitu kentara bahwa kepentingan keagamaannya dapat dilihat, misalnya, pada kasus-kasus kajian Islam yang dilakukan oleh para orientalis lama seperti Abraham Geiger, I. Goldziher, dan Willaim St Clair Tisdall. Geiger. Mereka nampak masih merujuk kepada masih  kentalnya motivasi  keagamaan  yang menjadi representasi lembaga yang menaunginya, sehingga sebagian hasil penelitian mereka cenderung bersifat apologi.
Geiger berupaya keras menunjukkan pengaruh utama Agama Yahudi terhadap agama Kristen dan Islam, ketika ia percaya kedua agama terakhir tidak memiliki nilai-nilai keagamaan yang asli, selain sebagai sarana bagi tersebarnya  kepercayaan  monoteistik  Yahudi  ke  dunia  yang  tak  bertuhan. Sementara itu Goldziher, meski memiliki motivasi keagamaan secara praxis, karena karir akademik yang dilaluinya diabdikan untuk kepentingan agama Yahudi dan komunitas Yahudi yang telah membantunya dari keterpurukan ekonomi keluarganya akibat Perang Dunia I, namun ia masih dianggap lebih berimbang dalam menilai asal muasal Islam dan pengaruh sebaliknya terhadap keagamaan Yahudi dan Kristen. Dalam banyak artikel dan buku-bukunya, Goldziher berupaya untuk mencari asal-muasal doktrin dan ritual peribadatan Islam di dalam praktek-praktek kebudayaan lain.
Selain misi-misi kegamaan baik Yahudi maupun Kristen, ambisi politik juga telah dengan sengaja mewarnai tujuan orientalisme. Snouck Hurgronje, misalnya, selalu berkeinginan untuk bisa melakukan aktivitas seperti yang dilakukan sejawatnya, Ignaz Goldziher. Jika Goldziher berhasil melawat dunia Muslim hingga tanah Syam (Syria), Snouck memimpikan pencapaian yang sama ketika berkesempatan mengunjungi Makkah saat berada di Konsulat Belanda di Jeddah. Dia pun masuk Islam, meski tidak secara tulus, hanya agar bisa memasuki tanah haram. Tidak hanya sampai di situ, secara doctrinal  ambisi  politik  juga  tercermin  dalam  pandangan-pandangannya. Snouck memandang kolonialisme sebagai berkah bagi dunia muslim,  karena  dengan  kolonialisme,  menurut  Snouck,  mereka  justru  berkenalan dengan gagasan-gagasan modern tentang pencerahan, sekulerisme, kebebasan pribadi dan  demokrasi.  Sebagai  agama,  Snouck menginginkan  Islam  cukup  menjadi  seperti agama Kristen yang hanya memuat ajaran-ajaran tentang peribadatan semata.
Luthfi Assyaukani berpandangan, manfaat yang diwariskan tradisi keilmiahan orientalisme jauh lebih besar ketimbang mafsadahnya. Edward Said tak pernah memberikan sumbangan apa-apa bagi kajian keislaman. Dia hanya meluapkan kemarahannya kepada apa yang dia sebut sebagai “konspirasi orientalisme” atau “konspirasi Barat.” Tapi, kemarahan dan emosi bukanlah sebuah cara yang baik untuk menilai produk kesarjanaan.
Dalam hal misionaris Kristen, Germanus dan Iqbal berbeda pendapat. Menurut Germanus, propaganda yang disebarkan kalangan misionaris Kristen dari Eropa adalah persoalan serius yang mengancam umat Islam. Tapi Iqbal meyakini bahwa persoalan itu timbul karena kesalahan umat Islam sendiri yang kurang mengutamakan persatuan untuk melawan agenda pada misionari. Selama karir akademisnya, Germanus selalu berseberangan dengan para pemikir orientalis Eropa yang mendukung kolonialisme. Karena seringnya terlibat pertikaian dengan kaum orientalis, Germanus dipecat dari universitas dengan alasan sebagai profesor dia sudah bersikap tidak pantas.

Kecenderungan Barat Terhadap al-Qur‘an
Pemikiran para orientalis mengenai al-Qur’an tidak terlepas dari pengalaman para teolog Kristian-Yahudi yang mengkaji sejarah Bibel. Setelah menyadari bahawa Bibel bukanlah God’s word, para orientalis juga menganggap hal yang sama terjadi kepada al-Qur’an. Pemikiran para orientalis juga telah mempengaruhi sarjana Muslim. Akibatnya, keraguan kepada al-Qur’an sebagai kalam ilahi muncul dalam pemikiran sarjana Muslim. Padahal, sepatutnya mereka menyadari status teks Bibel dan al-Qur’an tidaklah sama. Menggunakan metodologi Bibel ke dalam al-Qur’an tidak lah tepat. Bibel adalah himpunan karangan beberapa individu sedangkan al-Qur’an diturunkan dari Allah dan bukan karangan Muhammad. Allah swt. berfirman yang artinya:  “Yang tidak datang kepadanya (al-Qur’an) kebatilan baik dari depan maupun dari belakangnya, yang diturunkan dari Tuhan yang Maha Bijaksana lagi Maha Terpuji.”
Terjemahan-terjemahan al-Quran seperti terjemahan Arthur John Arberry (1905-1969), The Koran Interpreted, dianggap paling representatif dan objektif dalam menjelaskan ajaran Islam kepada Eropa– karya-karya orientalis dalam bidang studi al-Quran pada awal era modern memiliki kecenderungan variatif.
Pertama, karya-karya yang berusaha mencari pengaruh Yahudi-Kristen di dalam al-Qur`an. Karya-karya yang mencoba mencari pengaruh Yahudi terhadap al-Quran antara lain adalah Was hat Mohammed aus dem Judenthume Aufgenommen karya Abraham Geiger, Judische Elemente im Koran karya Hartwig Hirschfeld, dan Quranic Studies: Sources and Methods of Scriptural Interpretation karya John Edward Wansbrough (1928-2002). Dalam buku ini, Wansbrough mengklaim bahwa al-Quran hanyalah imitasi dari tradisi Yahudi dan Perjanjian Lama (Old Testament). Kedua, karya-karya yang diproyeksikan membuat rangkaian kronologis dari ayat-ayat al-Qur`an, seperti Geschichte des Qorans karya Theodor Noldeke, Introduction au Coran karya Regis Blachere, dan lain-lain. Ketiga, karya-karya yang mencoba menjelaskan kandungan ajaran al-Qur`an, seperti Die Richtungen der Islamischen Koranauslegung racikan Goldziher.Keempat, karya tentang varian bacaan al-Quran, Kelima, karya seputar tafsir.
Pendeta Edward Sell (1932), salah seorang tokoh misionaris terkemuka di Madras, India, mendesak agar kajian kritis-historis al-Qur’an dilakukan dengan menggunakan kritik Bibel (biblical criticism). Ia sendiri merealisasikan gagasannya dengan menulis Historical Development of the Qur’an, yang diterbitkan pada tahun 1909 di Madras, India. Ia juga menjadikan karya Theodore Nöldeke, Geschichte des Qorans, sebagai model untuk kajian kritis al-Qur’an. Senada dengan Sell, Pendeta Alphonse Mingana (m. 1937) menyatakan: “Sudah tiba masanya untuk melakukan kritik teks terhadap al-Qur’an sebagaimana telah kita lakukan terhadap Bibel Yahudi yang berbahasa Ibrani-Aramaik dan kitab suci Kristen yang berbahasa Yunani.”
Menyamakan problematika semua kitab suci dengan al-Qur’an, Arthur Jeffery, seorang orientalis berasal dari Australia berpendapat bahwa sebuah kitab itu dianggap suci karena tindakan komunitas masing-masing agama. Jeffery mengatakan: “Komunitaslah yang menentukan masalah ini suci dan tidak. Komunitaslah yang memilih dan mengumpulkan bersama tulisan-tulisan tersebut untuk kegunaannya sendiri, yang mana komunitas merasa bahwa ia mendengar suara otoritas keagamaan yang otentik yang sah untuk pengalaman keagamaan yang khusus.”
Menurut Jeffery, fenomena seperti itu umum terjadi di dalam komunitas lintas agama. Komunitas Kristen (Christian community) misalnya, memilih 4 dari sekian banyak Gospel, menghimpun sebuah korpus yang terdiri dari 21 Surat (Epistles), Perbuatan-Perbuatan (Acts) dan Apocalypse yang kesemua itu membentuk Perjanjian Baru (New Testament). Sama halnya dengan komunitas Islam.  Penduduk Kufah, misalnya, menganggap ‘Abdulla}>h ibn Mas‘u>d sebagai al-Qur’a>n edisi mereka (their Recension of the Quran). Penduduk Basra menganggap Abu> Mu>sa>, penduduk Damaskus dengan Miqda>d ibn al-Aswad, dan penduduk Syiria dengan Ubay.
Bagaimanapun, Jeffery menyayangkan sikap para sarjana Muslim yang belum melakukan kritik teks kepada al-Qur’a>n, sebagaimana yang telah dilakukan kepada Bibel. Hal ini tampak menurut Jeffery, karena belum ada satupun dari para mufasir Muslim yang menafsirkan al-Qur’a>n secara kritis. Ia mengharapkan agar tafsir kritis terhadap teks al-Qur’a>n bisa diwujudkan. Caranya dengan mengaplikasikan metode kritis ilmiah (biblical criticism). Jeffery meyatakan: “Apa yang kita butuhkan, bagaimanapun, adalah tafsir kritis yang mencontohi karya yang telah dilakukan oleh orientalis modern sekaligus menggunakan metode-metode penelitian kritis modern untuk tafsir al-Qur’an.”
Dengan menggunakan “metode-metode penelitian kritis modern” (biblical criticism), Jeffery merancang proyek ambisius yaitu mengedit al-Qur’a>n secara kritis (a critical editon of the Qur’a>n). Sekalipun proyek Jeffery gagal disebabkan kematian kolega-koleganya dan perang dunia ke-2 yang menghancurkan 40.000 naskah lebih yang telah dihimpun Di Munich, usaha untuk mengadopsi metodologi Bibel kepada al-Qur’a>n, masih terus berlanjut. Pertengahan abad ke 20, John Wansbrough (m. 2002) dalam karyanya Quranic Studies yang terbit pada tahun 1977 menggunakan kritik sumber (source criticism) ke dalam studi al-Qur’a>n. Ia menyatakan: “As a document susceptible of analysis by the instruments and techniques of Biblical criticism it is virtually unknown.”
Respon Sarjana Muslim terhadap penafsiran Barat
Sejak Edward Said melakukan serangan terhadap orientalisme, studi kritis tentang sejarah pembentukan Islam menjadi sebuah anatema (sesuatu yang kurang disukai).  Sarjana muslim yang hendak melakukan studi kritis terhadap Alquran atau Hadis atau sejarah Nabi Muhammad, akan ragu karena mereka khawatir disamakan dengan  para orientalis yang memang memiliki citra sangat buruk di dunia Islam.
Dengan beban psikologis seperti itu, studi kritis terhadap sumber-sumber Islam  klasik tak bisa lagi dilakukan secara bebas. Para sarjana Islam yang mencoba melakukan kritik terhadap tradisi Islam klasik merasa perlu terlebih dahulu melakukan “disclaimer” bahwa mereka bukanlah orientalis dan apa yang mereka lakukan sesungguhnya demi kebaikan peradaban Islam dan bukan karena membela kepentingan Barat atau orientalisme.
Dengan metodologi dan standar akademi yang ketat, para ahli Islam dari Barat itu menggali hal-hal yang kerap diabaikan kaum muslim. Studi mereka tentang sejarah Alquran misalnya, sangat padat dan kaya dengan rujukan sumber-sumber Islam klasik. Penguasaan mereka akan bahasa Arab dan peradaban Mediterania membantu kita dalam engeksplorasi hal-hal yang selama ini tercecer dalam tumpukan kitab-kitab klasik. Dengan bantuan para orientalis, kita dapat melihat secara lebih komprehensif lagi sejarah pembentukan Alquran. Satu hal yang kerap diabaikan (atau sengaja diabaikan) kaum muslim adalah bahwa para orientalis itu juga merujuk buku-buku klasik yang bisa ditelusuri dan dibuktikan.
Sumber dan metodologi yang digunakan para penulis untuk mengkaji respon sarjana Muslim terhadap karya-karya Barat menurut Yusuf Rahman di antaranya: Pertama, mengumpulkan dan mengkaji karya-karya sarjana Barat, baik buku maupun artikel dalam kajian al-Qur’an maupun tafsir, yang diterjemahkan ke dalam bahasa Turki, Persia maupun bahasa Arab. Selanjutnya mereka juga mendata dan mengkaji karya-karya sarjana Muslim yang merespon dan mengkritisi karya-karya sarjana Barat tersebut dalam bahasa Turki, Persia maupun bahasa Arab. Kedua, mereka juga mengkajinya dari kurikulum di perguruan tinggi, karena bagi mereka perguruan tinggi merupakan tempat di mana karya-karya Barat diperkenalkan, dikaji dan dikritisi. Di Iran, misalnya, Morteza Karimi Nia menunjukkan terjadinya perubahan kurikulum sebelum dan setelah Revolusi Islam Iran tahun 1979. Sebelum Revolusi, kajian, karya tentang al-Qur’an tidak terlalu banyak ditemukan, akan tetapi setelah Revolusi kajian dan publikasi tentang al-Qur’an sangat marak. Bahkan, di beberapa universitas ditawarkan mata kuliah “Reading English Text on the Qur’an, Hadis and Tafsir,” serta “The Qur’an and Orientalists”.  Dengan adanya perkuliahan ini, serta karya-karya Barat yang sudah diterjemahkan ke bahasa mereka, mereka dapat mengkaji dan mengkritisi karya-karya sarjana Barat, dan ini misalnya juga tercermin dalam tesis-tesis dan disertasi yang mereka tulis.
Dalam karyanya Oksidentalisme: Sikap Kita terhadap Tradisi Barat Hanafi mengajak kepada umat Islam untuk menyikapi secara kritis (bukan ofensif atau sebaliknya, defensif) terhadap hegemoni kultural, politik, dan ekonomi Barat, yang dikemas di balik kajian orientalisme. Hanafi berkeyakinan bahwa pada kenyataannya orientalisme sama saja dengan imperialisme, seperti kepopuleran imperalisme kultural yang digelar Barat melalui media informasi dengan mempropagandakan Barat sebagai pusat "kebudayaan kosmopolit". Dan bahkan, orientalisme dijadikan kedok belaka untuk melancarkan ekspansi kolonialisme Barat (Eropa) terhadap dunia Timur (Islam).
Kiranya wajar-wajar saja jika kalangan umat Islam mencurigai image orientalisme itu sarat dengan muatan ideologis, karena watakya yang imperialistis dan kolonialistis. Seperti dikatakan Komarudin Hidayat dalam Kata Pengantar untuk buku “Oksidentalisme: Sikap Kita terhadap Barat” terbitan Paramadina, bahwa orientalisme pernah dijadikan alat ideologis kolonialisme Barat lewat tangan Snouck Hurgronje untuk mensiasati Aceh dan umat Islam Indonesia secara keseluruhan. Dengan proyek oksidentalisme tersebut, ia merekomendasikan agar ekspansi kolonialisme Barat yang tanpa batas harus segera dihentikan. Perang kebudayaan pun mesti cepat-cepat diakhiri, lalu kebudayaan dan peradaban Barat dikembalikan ke wilayah geografis dan historisnya; menghapus rasa inferior dunia Islam vis a vis dengan superior dunia Barat.




















BIBLIOGRAFI
Adnan M. Wizan, Akar Gerakan Orientalisme Dari Perang Fisik Menuju Perang Fikir, terj. Ahmad Rafiq Zainul Mun’im dan Fathurrahman (Yogyakarta: Fajar Pustaka, 2003)
Abdurrahman, M. “Ilmu Hadis Sebagai Sumber Pemikiran” Ensiklopedi Tematis Dunia Islam, (Jakarta: PT Ichtiar baru Van Houve, 2002)
Al-Ma<liki>, Muhammad ‘Alawi< , Mauqifu al-Musli<m min al-Dira<sat al-Istishra<qiyah (Kairo: Mat}ba‘ah H}asan, tt), 
Al-Sufya>n, A<bir bin Muhammad, al-Mustashriqu>n wa man Ta>bi‘ahum wa Mauqifuhum min Thaba>t al-Syari<’ah wa Shumu>laha Dira>satan wa Tat}bi>qan (Makkah: Maktabaah al-Mana>rah, 1988)
Al-Zayadi, Muhammad Fathullah, al-Istishra>q Ahda>fuhu> wa Wasa>iluhu>, (Syiria-Libanon: Da>r Qutaibah}, 2002)
Andrae, Tor, Mohammed The Man and His Faith, (New York, Scribner, 1936)Assyaukanie, Luthfi, http://islamlib.com/id/index.php?page= article&id=844
Ferm, Vergilius, A History of Philosophical System, (New York: Rider and Company, 1950)
Hanafi, Hassan, dkk, Oksidentalisme: sikap kita terhadap tradisi Barat, (jakarta: Paramadina, 1999)
http://www.republika.co.id/berita/56623/Julius_Germanus_ Orientalis_yang_Menemukan_Islam
Jakub, Tk. H. Ismail, Orientalisme dan Orientalisten (Surabaya: 1970)
Jeffery, Arthur, “The Quest of the Historical Mohammed,” The Moslem World 16 (1926)
Khadar, Lhatifah Ibrahim, Ketika Barat Memfitnah Islam (Jakarta: Gema Insani Press, 2005)
Mingana, Alphonse, “Syiriac Influence on the Style of the Kur’en,” (Bulletin of the John Rylands Library, 1927).
Prasetyo, Hendro, “Pembenaran Orientalisme Kemungkinan dan Batas-batasnya,” ISLAMIKA (Bandung: Mizan, 1994)
Rahman, Yusuf, Respon Sarjana Muslim terhadap penafsiran Barat , Resensi Buku dan Artikel Jurnal (Jakarta, Perpustakaan SPs UINSyarif Hidayatullah, , Februari 2014)
Said, Edward W., Orientalisme, terj. Asep Hikmat (Bandung: Pustaka, 1996)
Sell, Canon, Studies in Islam (Delhi: B. R. Publishing Corporation, 1985)
Syarifuddin, M. Anwar, Kajian Orientalis Terhadap al-Qur’an dan Hadis https://www.yumpu.com/id/document/view/13973980/kajian-orientalis-quran-hadis-blog-mengajar/27
Sou'yb, H. M. Joesoef, Orientalisme dan Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1985)
Sugiharto, Ugi Majalah Islamia, Kritik Untuk Kajian Orientalis (Desember, 2005)
Vries, Andreas de, “Christiaan Snouck Hurgronje: History of Orientalist Manipulation of Islam-Analysis”, New Civilization http://www.eurasiareview.com/14092011-christiaan-snouck-hurgronje-history-of-orientalist-manipulation-of-islam-analysis/
Wansbrough, John, Quranic Studies; Sources and Methods of Scriptural Interpretation (Oxford: Oxford University Press, 1970)
Wikipedia, Orientalism (book) http://en.wikipedia.org /w/index.php?title=Orientalism_%28book%29&oldid=457998686%20diakses%2008-11-2011.#cite_note-14
Zaqzuq, Mahmud Hamdi, al-Istishra>q wa al-Khalfiyah al-Fikriyah li al-Sira al-Had}a<ra (tt: tp, 1988)
Zarkasyi Hamid Fahmy, Mendudukkan Orientalis, https:// groups.yahoo.com/neo/groups/alhikmahpcimkairo/conversations/messages/12

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

the statements and comments are will be a very useful in all

Kunjungan mulai 2022